Kamis, 22 Januari 2009

Pergi.....

“Kekasihku, di jalan ada perjumpaan dan sua kembali. 
Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri. 
Kubawa ragaku menempuh kemegahaan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. 
Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu.”

Saya sering tersedak jika ingin mengucap pamit.
Entah mengapa, mengucapkan kata selamat tinggal sesederhana, "Bye!" sekalipun menjadi bukan perkara mudah.

Nah, saya kagum pada orang yang bisa menulis ucapan selamat tinggal sebagus itu,
dan terlebih lagi akan terpana jika orang yang sama bisa mengucapkannya "live" di hadapan mereka yang akan ditinggal.

Kata-kata di atas adalah kutipan bagian akhir dari buku pertama Serat Centhini yang disadur oleh Elizabeth Inandiak, seorang perempuan Perancis yang mengagumi sastra Jawa.
Mengingat ini adalah penggalan karya sastra Jawa, khayalan saya melayang pada suatu masa ketika nenek moyang saya juga mungkin mengucap pamit, dengan kata-kata yang sama.

Ucapan selamat tinggal selalu menjadi beban bagi saya.
Bukan karena saya enggan berpisah,
tidak juga karena saya takut meninggalkan mereka di belakang,
namun karena ucapan itu adalah gerbang langsung menuju ketidakkekalan.

Ucapan pamit adalah pertanda awal bahwa tak ada satu pun yang kekal.
dan sampai hari ini dengan jujur saya katakan,
saya bahkan belum paham apa makna kekekalan dan ketidakkekalan.

Saya hanya terjebak dalam konsep mengenai mereka.

Itu barangkali sebabnya, 
saya masih enggan mengucap pamit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar