Dingklik, Tempat duduk mungil, dengan kaki kecil, membuat siapapun yang mendudukinya harus berjongkok. Dingklik panjang, Tetap mungil, berkaki kecil, membuat orang terpaksa jongkok, dan terpaksa meletakkan diri dalam posisi sederajat. Sama rendah. Membuatnya bisa dipakai untuk berbagi dengan jujur, dengan sederhana. Ingin bersama?
Rabu, 28 Januari 2009
CintA OranG PinggiraN
Jumat, 23 Januari 2009
CintA.... Eros, Agape, EgepE
yang mencukur bulu (ketek) nya!
dari porsi nasi Warung Tegal.
Kamis, 22 Januari 2009
Pergi.....
Senin, 19 Januari 2009
DoA, yang MengKalutkan....
Tentu saja permintaan itu membuat saya cengar-cengir.
Hal kedua yang menyeruak adalah pertanyaan,
Terhadap pertanyaan kedua saya hanya menjawab lirih, "Enggak."
Kali ini ucapan itu hanya diakhir dengan tanda baca titik.
Saya hidup di tengah-tengah doa dan orang-orang yang berdoa.
Sementara saya sendiri tidak berdoa.
Sudah tidak biasa berdoa, ajaib sekali bukan?
Sejak kecil saya sudah diajarkan untuk berdoa.
Menjelang dewasa saya adalah salah satu orang
Sekarang, saat usia tiga puluh mulai menjelang,
Ketika masih kecil, doa-doa diajarkan
Jadilah doa menduduki tempat yang setara
Karena kemampuan mengingat saya cukup lumayan,
"Kalo 'doa sebelum ujian' tuh gimana, ya?"
"Mas, tolong 'doa untuk pacar'-nya diprintkan!"
"Sayaaaang, aku tadi mau mengaku dosa... trus lupa 'doa tobat,' ajarin dong.
Pada usia dua puluh tiga dan sekian-sekian,
Saya memahami bahwa doa adalah
Bagian itu saya beri tanda kutip karena saya sadar,
Karena doa adalah sebuah komunikasi,
Doa saya sekarang mengalir dari hati dan perasaan,
Karena judulnyapun "usaha"
saya akan memohon dengan rendah hati (semoga sungguh demikian),
agar permohonan itu diperhatikan.
Lalu dengan penuh kepasrahan
saya akan mengakhiri doa itu dengan ucapan,
"Namun bukan kehendakku...melainkan terjadilah kehendak-Mu!"
Terkesan aneh? Namun dengan formula ajaib macam itu,
Khususnya pada saat-saat tertentu,
Pada titik ini, saya lalu merasa bahwa berdoa
Menanti kata-kata yang datang dari entah
Maka tahun-tahun setelahnya pertanyaan ini
Saya terlahir sebagai seorang Katolik.
Minggu pagi ke Gereja, berdoa.
Senin dan Kamis bertemu dalam perkumpulan orang muda, berdoa.
Selasa dan Rabu berkumpul dalam latihan paduan suara, berdoa.
Hari sabtu pertemuan pendalaman iman, pasti juga berdoa.
Lingkaran harian itu saya garis bawahi
Itu semua masih di luar doa-doa pribadi yang paling standar,
doa sewaktu bangun tidur...
Tradisi Gereja Katolik sendiri membagi hari dalam lingkaran tujuh kali waktu doa.
Dua kali lebih banyak dari saudara-saudari yang Muslim.
Sayang, kebiasaan tersebut kini hanya dijalankan
Entah mengapa, Para petinggi Gereja dari masa dahulu hingga sekarang
Bagaimana dengan diri saya,
Entah mengapa, saat saya mulai merasa dewasa
Kedewasaan seolah menjadi semacam pembebasan.
Sekarang saya tak perlu lagi menghafal agar mendapat pengakuan.
Tidak butuh lagi merangkai puisi hanya untuk memperoleh penguatan,
bahwa saya tidak sendirian.
Kedewasaan membuat saya melihat Tuhan dengan sudut pandang lain.
Ayolah! Ia bukan guru matematika
atau guru Bahasa Inggris yang akan pasang wajah kecewa
Maka, ia juga tak butuh puisi indah bergaya liris
Karena saya ingin bisa sekedar berkomunikasi,
maka dua cara berdoa di atas saya "delete".
Sekarang, saya kebingungan sendiri.
Saya terbiasa dengan Tuhan
Doa lalu ikut menjadi sistematis pula,
Saya ingin mengenal si-dia secara lebih akrab,
Bukan lewat kuliah para dosen,
dan lebih-lebih bukan menurut kata-kata
Rupanya,
Saya masih belum mengenalnya
Duduk bersama, dan barangkali menanti kelanjutannya...
Sebuah Lagu dari Negeri yang jauh
A NINE DAYS’ WONDER
A Nine days wonder
Looking back as the sun goes down
As times goes by, a sketch of life
On the wall worn out.
One day he says
In a usual tone
That I don’t shine anymore
So I laughed and said, can you bring it back
He stands alone watching the leaves fall
So many places, so many ways
There’s no way home, nowhere I belong
So many faces fade away
And then life’s goes on
So many places, so many ways
There’s no way home, nowhere I belong
Off the rails dream away
The amber lights flicker out
An old soldier lives in the dark
Says light only causes pain
Now I don’t listen to him this time
I packed my bag and I walked to the bus stop
Stars start falling down like a yellow rain, like fireworks
I stand alone watching the stars fall
So many places, so many ways
There’s no way home, nowhere I belong
So many faces fade away
And then life’s goes on
So many places, so many ways
There’s no way home, nowhere I belong
So many faces fade away
And then life’s goes on
Still living in the worlds now
Hold on there
And then life’s goes on
Still living in the world we now
Hold on there
And then life’s goes on
Lagu ini ditulis dan dinyanyikan oleh Yoshio Akeboshi, seorang penyanyi asal Jepang. Entah mengapa kesederhanaan kata-katanya memukau saya. Ia bernyanyi seperti orang bertutur. Lugas dan jelas. Tanpa banyak bunga, namun menunjukkan kepiawaian memilih kata.
Akeboshi lebih dikenal di Indonesia sebagai penyanyi yang lagunya kerap dijadikan ending song Film Anime NARUTO. Lagu, "Wind" dijadikan lagu penutup seri anime ini selama beberapa episode awal, sementara "Yellow Moon" menemani kita saat menyaksikan season 4 anime tersebut.
Saya kerap mengagumi serial Anime Jepang. Sebuah tontonan yang di negeri kita kerap diidentikkan sebagai "konsumsi anak-anak" ternyata masih bisa disisipi dengan lagu-lagu yang bermakna mendalam, dan dalam bahasa bego saya .....dewasa! Kekaguman ini membuat saya terdorong untuk mengagumi kemampuan para musisi Jepang dalam mengolah lirik lagu.
Jika kita mencermati lagu-lagu populer yang beredar di pasaran negeri ini, komentar yang spontan muncul adalah...."Kok simpel banget, ya?....dangkal dan hmmmm, rada dungu!" Kebanyakan (untuk tidak mengatakan semuanya) hanya berkisah mengenai cinta dan masalah diseputarnya. Jatuh cinta, patah hati, selingkuh dan tema-tema standar lain, dengan bahasa dan makna yang seadanya. Asal bunyi doang.
Saya tidak menuntut bahwa sebuah lagu cinta haruslah puitis. Kata-kata bolehlah sederhana, namun alangkah indahnya jika ia punya makna yang membuat orang "jadi mikir," dan pada akhirnya berucap.... wow!
Rasanya tak adil jika saya hanya "ngomel doang." kekaguman ini, kerisauan ini, boleh jadi sebuah permintaan dan tantangan buat saya, "Man, kapan elo bikin lirik seperti yang lo maksud?"
Barangkali saya juga sedang diadili oleh diri saya.