Senin, 19 Januari 2009

DoA, yang MengKalutkan....

Saat berkunjung ke rumah seorang kawan saya pernah dimintai izin oleh si tuan rumah. Permintaannya sederhana saja, "Sorry, man! Gue mundur dulu ya? Mo sembahyang nih!"
Tentu saja permintaan itu membuat saya cengar-cengir. 
Hal yang pertama muncul di benak adalah pertanyaan, 
"Hemmmh, yang tuan rumah tuh sebenarnya siapa, ya? 
Kok malah dia yang minta izin pada saya?"
Hal kedua yang menyeruak adalah pertanyaan, 
"Wooi, eloe ikut berdoa juga, enggak?"
Terhadap pertanyaan kedua saya hanya menjawab lirih, "Enggak."
Kali ini ucapan itu hanya diakhir dengan tanda baca titik. 
Bukan "tanda seru" seperti biasanya.

Saya hidup di tengah-tengah doa dan orang-orang yang berdoa.
Sementara saya sendiri tidak berdoa. 
Bukan karena ingin tampil beda, 
namun hanya karena sudah tidak biasa saja.
Sudah tidak biasa berdoa, ajaib sekali bukan?

Sejak kecil saya sudah diajarkan untuk berdoa.
Menjelang dewasa saya adalah salah satu orang 
yang kerap dimintai tolong oleh orang lain 
untuk mendoakan mereka.
Sekarang, saat usia tiga puluh mulai menjelang, 
saya malah jarang berdoa.

Ketika masih kecil, doa-doa diajarkan 
dan kami diminta untuk menghafalkan.
Jadilah doa menduduki tempat yang setara 
dengan daftar perkalian
 dan daftar kata kerja bentuk lampau dalam bahasa Inggris.
Karena kemampuan mengingat saya cukup lumayan,
jadilah saya bank doa di mata kawan-kawan. 
Pada saat saya mulai remaja, 
terbukti betapa kemampuan mengingat doa itu sungguh berguna 
dan seandainya bisa diuangkan, 
punya prospek bisnis yang menggiurkan.

"Kalo 'doa sebelum ujian' tuh gimana, ya?"
"Mas, tolong 'doa untuk pacar'-nya diprintkan!"
"Sayaaaang, aku tadi mau mengaku dosa... trus lupa 'doa tobat,' ajarin dong. 
Ntar aku masuk ruang pengakuan lagi!"

Pada usia dua puluh tiga dan sekian-sekian, 
doa saya mulai berubah.
Saya memahami bahwa doa adalah 
"komunikasi dengan Tuhan."
Bagian itu saya beri tanda kutip karena saya sadar, 
bahwa yang saya ajak berkomunikasi sungguh belum saya kenal 
dan pahami namun, (katanya) ADA!
Karena doa adalah sebuah komunikasi, 
maka saya mulai menyingkirkan jauh-jauh segala jenis doa hafalan 
dan malahan mulai cenderung membencinya.

Doa saya sekarang mengalir dari hati dan perasaan, 
menjadi ungkapan tertulus untuk berusaha menjangkau-Nya.
Karena judulnyapun "usaha" 
maka doa saya pun kadang-kadang terasa unik, lucu dan memaksa. 
Saya bisa berdoa dengan kata-kata indah dan lancar 
hanya untuk memohon agar hujan berhenti. 
Dengan penuh iman (yang masih saya pertanyakan maksudnya),
saya akan memohon dengan rendah hati (semoga sungguh demikian),
agar permohonan itu diperhatikan.
Lalu dengan penuh kepasrahan 
(dan agar menimbulkan efek dramatis),
saya akan mengakhiri doa itu dengan ucapan,
"Namun bukan kehendakku...melainkan terjadilah kehendak-Mu!"

Terkesan aneh? Namun dengan formula ajaib macam itu, 
saya kerap dimintai tolong oleh banyak orang 
agar mendoakan mereka.
Khususnya pada saat-saat tertentu, 
saat doa yang hadir dari ucapan sendiri 
sudah terasa tidak manjur dan meyakinkan lagi.

Pada titik ini, saya lalu merasa bahwa berdoa 
menjadi bagaikan merangkai puisi.
Menanti kata-kata yang datang dari entah 
dan merangkainya menjadi suatu kalimat 
yang punya maksud dan tujuannya sendiri.
Maka tahun-tahun setelahnya pertanyaan ini 
selalu menampakkan dirinya, 
"Bisakah kau berdoa tanpa maksud tertentu?"

Saya terlahir sebagai seorang Katolik. 
Doa adalah irama hidup.
Minggu pagi ke Gereja, berdoa.
Senin dan Kamis bertemu dalam perkumpulan orang muda, berdoa.
Selasa dan Rabu berkumpul dalam latihan paduan suara, berdoa. 
Jum'at perkumpulan doa lingkungan, jelas-jelas berdoa.
Hari sabtu pertemuan pendalaman iman, pasti juga berdoa.
Lingkaran harian itu saya garis bawahi 
karena pada saat itu saya dipastikan sedang berdoa, 
atau malah sedang memimpin doa.
Itu semua masih di luar doa-doa pribadi yang paling standar,
doa sewaktu bangun tidur... 
Sebelum dan sesudah makan.... 
menjelang berangkat tidur.

Tradisi Gereja Katolik sendiri membagi hari dalam lingkaran tujuh kali waktu doa.
Dua kali lebih banyak dari saudara-saudari yang Muslim.
Sayang, kebiasaan tersebut kini hanya dijalankan 
oleh para biarawan dan biarawati serta para Pastor dan Diakon.
Entah mengapa, Para petinggi Gereja dari masa dahulu hingga sekarang 
terkesan membuat tradisi lingkaran doa harian
jauh dari kami, kaum awam.

Bagaimana dengan diri saya, 
yang sekarang ini (katanya) sudah jarang berdoa?
Entah mengapa, saat saya mulai merasa dewasa 
dan masuk dunia kerja doa menjadi terasa asing bagi saya.
Kedewasaan seolah menjadi semacam pembebasan.
Sekarang saya tak perlu lagi menghafal agar mendapat pengakuan.
Tidak butuh lagi merangkai puisi hanya untuk memperoleh penguatan,
bahwa saya tidak sendirian.

Kedewasaan membuat saya melihat Tuhan dengan sudut pandang lain.
Ayolah! Ia bukan guru matematika 
yang akan memukul betismu dengan rotan
atau guru Bahasa Inggris yang akan pasang wajah kecewa 
kala engkau melupakan kata "take" dalam bentuk kedua.
Maka, ia juga tak butuh puisi indah bergaya liris 
atau Sajak perkasa dengan dentuman suara keras
demi meyakinkan maksud hati saya untuk menjangkau dia.
Karena saya ingin bisa sekedar berkomunikasi, 
tanpa maksud yang aneh-aneh,
maka dua cara berdoa di atas saya "delete".

Sekarang, saya kebingungan sendiri.
Saya terbiasa dengan Tuhan 
yang dijelaskan secara sistematis menurut tradisi Teologi Gereja.
Doa lalu ikut menjadi sistematis pula, 
karena ditujukan pada si-Dia yang dipahami 
secara (dengan penuh pemaksaan) sistematis.
Saya ingin mengenal si-dia secara lebih akrab, 
dengan pengenalan yang murni dari pencarian.
Bukan lewat kuliah para dosen, 
bukan lewat sebuah kitab berusia dua ribu tahun 
(yang sering dituduh sebagai palsu dan tidak otentik),
dan lebih-lebih bukan menurut kata-kata 
yang entah hafalan .... entah karangan pribadi 
justru membuat si-dia tampak begitu miskin di hadirat saya.

Rupanya,
Saya masih belum mengenalnya 
dan karena itu bingung .... 
hingga mulai jarang berdoa.

1 komentar:

  1. saya sangat tidak bisa berdoa 7x sehari....
    dengan jam-jam tertentu
    nampaknya saya anak nakal.....
    ga bisa disiplin berdoa di jam-jam-nya

    saya berdoa seiring dengan nafas yang saya hirup. untuk setiap momen, baik jelek maupun indah. doa saya, hanya di hati...
    hahaha...
    orang nggak akan bilang saya sedang berdoa ketika saya yakini saya sedang berdoa
    [ribet ya bahasanya? maap yeee]

    BalasHapus