Jumat, 21 Oktober 2011

MALAM (Refleksi Bulan Oktober 2011)


(Refleksi Bulan Oktober 2011)

Ada saat tertentu kami boleh ke luar Biara dan menghadiri undangan di tempat lain. Masa-masa seperti itu membuat saya bisa menikmati malam dengan cara yang berbeda. Dari balik jendela minibus Mitsubishi Colt T120s, kendaraan dinas kami, saya melihat betapa malam telah menjadi begitu berbeda. Ia berubah sebagaimana dunia telah menjadi berbeda dan berubah.

Seluruh penjuru kota telah menjadi kerajaan cahaya. Jejaring kawat dan kabel listrik serta energy bermega-watt memungkinkannya. Beribu billboard iklan, deru kendaraan dan dentuman musik menggempur indera dan memaksa masuk. Menyusuri jalanan Bandung lalu bagaikan terjebak di lorong sebuah pusat perbelanjaan. Menggoda, memukau sekaligus memangkas orientasi akan waktu dan ruang. Segala tempat telah gemebyar. Tiba-tiba saya merindukan cahaya bulan dan bintang. Listrik telah membuat lampu Tuhan kehilangan muka.

Dua tahun yang lalu malam tidaklah seperti ini. Pada masa itu, malam masih saya kenal dan akrabi beserta kenikmatan dan kegawatannya. Saya lalu merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Malam hari yang saya kenal di Sulawesi selalu menawarkan misteri, sementara di sini hanya sensasi.

Gebyar cahaya kota membuat saya menemu suatu hal yang timpang, juga hilang. Tanah Sulawesi dengan segala keterbatasannya tak mungkin membuat kotanya sebling-bling Parijs van Java. Kampung halaman saya lalu menjelma sebagai kampung dalam arti yang sebenarnya. Kurang cemerlang dalam daya tarik, kalah dalam pergulatan ekonomi dan eksistensi menurut kacamata zaman ini.

Namun, cahaya yang sama membuat saya jatuh kasihan pada Bandung dan seluruh penghuninya. Tak ada lagi yang membuat malam-malamnya menjadikan orang menemu hening. Menjadikan orang mengenal bahwa dirinya mempunyai batas. Bahwa ada sisi gelap di luar sana yang tak diketahui dan dipahaminya. Ada yang kemudian membuatnya kagum sekaligus gentar, ada kasih dan ngeri, ada amor dan horror (menurut bahasa Goenawan Mohamad). Cahaya dan kebisingan membuat orang mengabaikan bahwa ada yang Ilahi di balik pelukan malam. Kota ini lalu jadi sedingin cahaya neon, tunduk pada sensasi yang dangkal dan bersifat luaran.

Banyak hal terlahir dari kesenyapan. Salah satunya adalah iman. Musa menemu Tuhan di gunung Sinai dan Muhammad di gua Hira. Tak seorang pun di samping Buddha kala ia bersemadi di Bodh Gaya. Bahkan hidup Yesus pun diawali di sepinya kandang domba dan diakhiri dalam kesendirian di kayu salib. Masa itu i-pod dan ponsel Samsung Galaxy Ace belum merebut hening dengan musiknya.

Bagaimana dengan saya?

Hidup di biara membuat orang menemu faedah berganda. Di satu pihak, saya tertahan dan aman dari segala “kelakuan yang aneh-aneh.” Di lain pihak, saya memiliki banyak waktu luang yang membuat saya bisa “berpikir yang aneh-aneh.” Hidup lalu menjadi sekaligus hening dan gempita. Terlihat hening di luar, tetapi gemuruh di dalam. Bagai kampung di tengah kota.

Salah satu scenario pelarian teraneh yang pernah muncul adalah menjadi seorang rahib Trappist. Latar belakangnya barangkali karena saya merasa biara saya, dunia kecil saya ini, tak kalah hiruk-pikuknya dibanding dengan pasar Cicadas. Semua bunyi yang saya dengar sehari-hari hanyalah bising yang menilap semua suara halus. Saya menghindari Televisi yang kedengarannya seperti hendak meledak dan radio yang suaranya bisa lebih keras dari yang dipancarkan studionya. Bahkan teman-teman telah menjadi begitu nyaring. Mereka saling menjerit hingga yang mereka katakan semakin keras, semakin pendek-pendek, dan semakin tidak berarti.

Hal ini membuat saya sadar, betapa kini saya telah menjadi salah satu warga Bandung yang kosmopolit. Hidup saya sudah riuh dengan dentuman musik bermacam gaya, bertabur lampu beraneka warna, dan penuh tempelan billboard iklan beragam nuansa. Tak heran jika saya merindu malam yang senyap di kampung halaman sana.

Kesadaran ini saya anggap berkat. Sekarang saya hidup dalam sebuah mandala Ilahi. Tempat bercahaya yang justru jadi sempurna karena ketidaksempurnaannya. Segala keriuhan dalam habitat saya ini toh melahirkan habitus-habitus baru yang baik. Sekarang saya terbiasa bangun dini hari, antara pukul 3 atau pukul 4 pagi hingga bisa menikmati saat-saat hening bersama Sang Ilahi. Saya sedang belajar mencintai-Nya, maka pertemuan macam ini adalah prioritas utama saya.

Saya sedang mempelajari cara untuk menghadirkan malam senyap penuh misteri di tengah hari-hari sibuk yang riuh itu. Syukurlah juga ternyata Sang Ilahi ini mengirimkan seorang sahabat yang mengajarkan saya menjadi lebih santai, sabar dan berpasrah. Ia membuat saya tidak menuntut senyap, justru melepaskannya hingga segala bunyi malah bisa menjadi sunyi. Teman saya ini membantu saya membiarkan segalanya ada begitu saja, tanpa meributkan alasannya mengapa cahaya dan keriuhan harus ada dengan cara seperti itu. Dia membuat saya bisa berjumpa amor dan horror dalam setiap langkah yang saya buat. Menjadikan semua yang berada dalam lingkup mandala ini menjadi tampakan wajah Ilahi sehingga menjadi honourable, layak dihormati.

Ia membuat segala rasa sakit, kecewa, tak puas dan penyangkalan sebagai bagian sebuah misteri kehidupan. Suatu kenyataan yang memang harus dilalui oleh semua yang hidup. Segala dukkha ini lalu tidak menjadi barang murahan. Bukan sekedar teka-teki yang cukup dihibur dengan pengandaian.

Banyak hal baik dilahirkan dan bukan dijadikan. Ia dicapai dengan usaha, keringat, air mata dan bahkan pengorbanan nyawa agar bisa lahir dan tumbuh berkembang. Semoga saya masih diperbolehkan menemui malam. Entah yang gelap dan senyap atau yang gemebyar dan riuh. Semoga saya masih bisa menyadari begitu banyak misteri yang belum saya temui. Semoga saya masih bisa mendengar suara kawan-kawan saya dan menimba bimbingan mereka.

“Ada di dunia ini yang merupakan teka-teki, ada yang merupakan misteri. Dan beda keduanya adalah ini: teka-teki adalah rahasia yang jawabannya tetap dan pasti. Tetapi misteri adalah rahasia yang jawabannya tak pernah kita kita tahu adakah ia tetap dan pasti. Sesuatu samar-samar menampakkan diri, tapi kita takkan pernah memegangnya. Misteri menjelmakan suasana kepedihan dan harapan. Dan suasana itu, anehnya, indah.”

(Ayu Utami, Bilangan FU, hal. 413)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar