Minggu, 23 Oktober 2011

GEMA SATU NADA (Refleksi Bulan Februari 2011)

Failing to fetch me at first keep encouraged

Missing me one place search another

I stop some waiting for you…

(Walt Whitman, Song of Myself)

Pekan biasa ke delapan menutup Februari. Pekan biasa, hari-hari biasa; dan segalanya berlangsung seperti biasa. Nasi goreng dari dapur biara masih bergelimang kecap, driver terbaik kami masih jago ngebut dan nyelip di tengah kepadatan Bandung, dan saya masih juga mudah terkapar sakit kala terpapar suhu udara yang dingin. Segalanya berlangsung seperti biasa.

Segala hal yang datang dan pergi kemudian kerap luput dari perhatian. Dijalani begitu saja dan kehilangan keistimewaan. Kebiasaan membuat orang kehilangan kekaguman, juga penghargaan.

Untuk sekian lama saya kerap menyisihkan waktu untuk sendirian. Mojok di depan deretan makam biara, atau di pondok kecil di dekat saluran air seusai doa malam. Saat itu menjadi kala yang paling mewah. Saya bisa menikmati malam, cahaya bulan, kelip lampu di kejauhan, wangi Sansiviera, suara jengkerik dan burung malam. Segala sesuatu seolah tampil untuk menghadirkan suasana yang melegakan.

Lalu ketika segalanya telah menjadi biasa dan menjadi bagian kebiasaan, saya jadi merasa enggan melakukannya. Kegiatan malam kemudian diakhiri dengan doa bersama yang bernuansa kantuk, lelah dan diselubungi pertanyaan, “Mengapa mazmur-mazmur ini rasanya panjang sekali?” Maka seusai doa saya pun bergegas kabur ke bawah selimut, beranjak tidur karena merasa lelah sekali dan makin jarang bermimpi.

Ketika berada di luar biara hidup terasa seru karena berjalan dengan dinamis. Segalanya selalu bergerak dan berubah. Saya berjumpa orang-orang baru di tempat kerja, bersua kegiatan dan kebijakan baru di Gereja dan membuat kegilaan-kegilaan baru dengan adik dan sahabat saya di mana pun kami sempat berjumpa. Karena segala gerakan dan perubahan ini, saya menjadi sulit menganggap suatu hal sebagai sebuah kebiasaan. Tak ada yang monotone, hidup saya dipenuhi hal-hal yang luar biasa. Entah luar biasa menyenangkan atau luar biasa menjengkelkan.

Tanpa sadar saya hanya bergerak di permukaan. Dangkal tanpa perenungan mendalam. Segala gerakan ini membuat saya dengan mudah meninggalkan mereka untuk kemudian berjumpa dengan masalah lain. Hidup, persahabatan, pekerjaan, kesenangan segalanya mengalir begitu saja tanpa pernah saya pandang intinya. Saya hanya menjumpa pohon memandang kulit dan dedaunannya serta menikmati buahnya tanpa pernah berusaha mengenal Galih-nya.

Sebagai Novis, saya menjalani kehidupan dengan cara sebaliknya. Hidup lalu dialami dalam siklus yang berulang-ulang. Orang yang saya temui tetap orang yang itu-itu saja. Disiplin yang dilanggar tetap tak berubah juga. Bahkan “perjalanan ke luar rumah” selalu menempuh rute yang sama. Stabilitas ini, membuat saya selalu berusaha menggali lebih dalam. Memandang hidup bukan di tataran luaran. Ia memaksa saya menemukan Galih, inti dari setiap kejadian dan pertemuan. Dan pemaksaan saudara, sekali pun baik, kadang menimbulkan kemuakan.

Sesungguhnya saya sedang tidak merasa bosan sehingga menulis permenungan ini. Saya sedang merasa terkejut atas hilangnya daya pesona segala yang saya jumpai dan kaburnya rasa antusias atas segala yang saya buat. Jadwal harian ini, siklus yang berpusar membuat saya bagaikan air yang mengalir di selokan. Aman, nyaman dan tenang. Tanpa perlawanan. Dan sekali pun jatuh dan terbanting-banting toh tetap berada di jalur yang digariskan.

Tanpa terasa segala sesuatu yang membiasa ini menjadikan daya refleksi saya menjadi tumpul. Perilaku sehari-hari juga berubah. Alih-alih menjadi reflektif, saya justru berubah menjadi reaktif. Segala pusaran hidup ini membuat saya menjadi bagai sesosok ranjau darat. Mudah meledak kala tersenggol.

Maka saya merasa heran sendiri karena hal yang paling menggairahkan di antara segala rutinitas ini adalah justru yang paling monoton dan terjadwal. Saya selalu merasa lega kala waktu untuk medoakan ibadat harian tiba. Saya telah membiasakan diri mendoakan ibadat harian sejak tahun 1998. Entah sebagai seorang calon imam diosesan, sebagai seorang awam atau sebagai seorang calon biarawan, ibadat harian (ofisi) ini berusaha saya pertahankan. Inilah hal paling teratur di tengah kesemerawutan hidup masa lalu.

Buku Brevir yang saya gunakan hari ini pertama kali saya terima pada bulan Juli 1998. Banyak coretan di dalamnya. Puisi setengah jadi (yang tak pernah selesai hingga hari ini), catatan hari-hari penting saya dan sahabat, bahkan nomor telepon mantan pacar. Kini ofisi terasa makin mewah karena saya melakukannya bersama para saudara se-biara. Saya bisa memandang wajah mereka serta berpadu suara dan kehidupan bersama orang-orang ini. Doa ini, yang memang begitu rutin, justru menjadi saat untuk berhenti sejenak dari segala rutinitas.

Pengalaman ini membuat saya merasa yakin bahwa ada kebiasaan baik yang bisa saya rangkul tanpa kemuakan sebagai efek samping. Saya ingin menceburkan diri dan menaruh perhatian pada hal-hal yang biasa-biasa ini. Segala hal yang istimewa memang mempesona, namun biasanya ia malah mulai merasuk dan memperkaya hidup di saat telah menjadi biasa saja. Segala pesona yang melahirkan kekaguman dan penghargaan barulah cangkang, yang terlihat dari luar. Bagian dalamnya, Galih-nya, yang biasa-biasa saja adalah kenyataan sesungguhnya.

Saya masih belajar untuk menyukai dan mencintai yang biasa-biasa ini. Diri dan seluruh indra masih merindu hal-hal yang berubah-ubah dan mempesona. Namun, paling tidak saya sadar bahwa segala hal itu sifatnya maya, menjerumuskan dalam penderitaan kala ia berubah dan meninggalkan saya. Kini saya harus belajar menghargai yang biasa. Karena itulah realitas hidup harian saya. Ia tetap mengalir dan berubah, tetapi karena telah membiasa, saya pun terbiasa melepaskannya. Membiarkannya pergi, setelah singgah sejenak dan membuat saya tersenyum bahagia.

Maafkan aku tak bisa kuceritakan

diriku: dengarlah, cangkang telur atau

kulit limau hanyalah samaranku.

sebab kata sesungguh kata tak bisa

mengena jika kau masih juga separuh

membaca separuh-buta.

(Hendrawan Nadesul, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar