Kamis, 19 Februari 2009

JubaH PanjanG

Tiga Orang berjubah panjang,
datang tanpa malu-malu
ke beranda-ku
Sore itu.

Entah mengapa saya tak merasa nyaman. Mereka berbicara mengenai Yogya, rumah kedua saya dan mengisahkan perjalanan "dakwah" mereka. Saya seorang Katolik, dan kehadiran beberapa Muslim yang mengisahkan perjalanan dakwah dan keberhasilan mereka mengajak banyak orang untuk bergabung sangat menyesakkan saya. Saya tak tahu harus berbicara apa? Saya merasa bahwa mereka datang dengan tujuan yang berbeda dengan saya.

Tiga tahun lalu, saya juga termasuk dalam golongan orang berjubah. Saya melewatkan masa dari tahun 1997 hingga 2004 dalam seminari, sekolah para calon Pastor. Saya dididik dalam filsafat dan ilmu agama, agar saya juga bisa menjadi "pendakwah." Tentu saja, kami juga mempunyai jubah panjang putih sebagai pakaian kebesaran.

Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti. Semua yang sudah saya buat membuat saya jauh dari semua yang saya cinta. Yesus pernah mengatakan, "Orang yang sudah siap diutus namun masih menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah!" (Semoga Kutipan itu mirip aslinya - saya sudah tak pernah membaca Kitab Suci tiga tahun ini).

Tanpa niatan membela diri, tapi saya merasa bahwa jubah panjang saya membuat saya jauh dari sesama umat Katolik (saya diposisikan sebagai "yang lebih" oleh mereka), jauh dari keluarga (tentu saja-tugas menjadi pastor membuat hanya Tuhan dan Umat-Nya yang utama!). dan jauh dari semua teman saya (ayolah, saya punya banyak teman Kejawen dan Buddha, banyak teman Muslim dan banyak sekali teman Hindu). JUbah Putih itu membuat saya teralienasi dari mereka. Pakaian khusus yang saya kenakan, membuat dunia saya terpisah dari mereka.
Karena itulah, saya memutuskan untuk menanggalkannya.

Ada yang bilang saya lemah? Oh, ya!?
Ada yang bilang saya memang gagal, masih terikat dunia? Hehehe, Cencu sajhaa!
Ada yang mencap saya pengkhianat? ho-oh. Walau saya tidak merasa mengkhianati siapa-siapa.

1 komentar: