Minggu, 23 Oktober 2011

PERAYAAN KEFANAAN

Sampai hari ini, saya kerap mengacuhkan perayaan hari ulang tahun. Saya sangat jarang mengingat ulang tahun orang lain. Jarang memberi ucapan selamat, apalagi memberi hadiah ulang tahun. Maka, jika ada orang yang hari ulang tahunnya saya ingat jelas, sungguh istimewalah orang itu. Saya hanya mengingat ulang tahun para sahabat saya yang paling dekat. Maka, hanya ada empat orang yang pernah menerima kehormatan itu.

Beberapa hari terakhir tiba-tiba saya merasa perlu mencari tahu hari ulang tahun orang tua dan adik-adik saya. Lebih ajaib lagi, saya bahkan merasa perlu berjuang untuk menelepon dan memberi ucapan selamat. Well, entah apa yang menggerakkan saya?

Saya sendiri tak pernah secara khusus merayakan hari lahir itu. Hanya tiga perayaan ulang tahun yang saya ingat sepanjang hidup. Pertama, ketika kelas I SD, dirayakan di sekolah dan membuat saya begitu malu dan berjanji takkan mengulangnya. Kedua, ketika berusia tujuh belas tahun: dirayakan dengan segunung nasi tumpeng sambil memanfaatkan tenaga gratis para teman untuk mengecor rumah yang saya bangun (maaf ternyata bakat pelit sudah muncul sejak muda). Ketiga, perayaan ulang tahun di gereja tempat Tahun Orientasi Pastoral: pesta yang melibatkan lemparan butter cream yang hampir membuat saya murka. Saya tidak rela jika kue ulang tahun yang mahal itu hanya dilempar dan jadi sampah.

Dulu saya menganggap perayaan hari lahir hanyalah perayaan sebuah kefanaan. Pengingat nyata bahwa saya masih harus meneruskan hidup. Kehidupan yang selama ini lebih banyak dijalani dengan tidak bertanggungjawab, ceroboh, asal-asalan dan kurang diperjuangkan. Perayaan ini sebuah penanda, bahwa hidup saya ada batasnya yang akan tiba entah kapan. Dan saudara-saudara, mengingat hal yang menggetarkan macam itu tak terasa nyaman bagi saya.

Belakangan saya sadar bahwa perayaan ini adalah juga pengungkapan sebuah syukur. Bagaimana pun kelahiran membuat saya bisa bertualang gila-gilaan sebagai manusia. Hidup memungkinkan saya berjumpa dengan banyak hal menakjubkan. Melihat matahari, gunung dan laut yang sangat saya sukai. Menikmati makanan-minuman ajaib yang kadang justru merusak tubuh. Menemui ibu-bapak, para saudara, para kenalan dan para sahabat, orang-orang baik yang menemani sepanjang hidup. Kelahiran membuat saya bisa bertanya, “Siapakah Engkau Tuhan? Mengapa Kau menjadikan saya?”

Kini, saya ingin merayakan hari-hari lahir orang-orang yang begitu berarti bagi hidup saya. Mereka yang sudah berani menjalani kehidupan yang tak mudah karena rela menemani agar saya tidak kesepian. Saya bersyukur karena mereka dilahirkan hingga bisa bergabung bersama saya dalam perjalanan kefanaan. Saya berterimakasih atas keberadaan mereka.

Bersama mereka saya hendak menjadikan hidup ini penuh harapan, walau pun kadang tidak terasa indah, walau kadang menjadi begitu kejam, walau pun ternyata bisa menjadi menakutkan. Bersama orang-orang terkasih ini, saya hendak menjadi manusia yang berani menempuh hidup, dengan kepala tegak dan hati yang tertunduk. Kepala tegak karena bahagia dan bangga mendapat kepercayaan berjalan bersama mereka. Kepala tertunduk karena penuh ucapan syukur memperoleh kehormatan luar biasa: boleh berjalan bersama orang-orang berharga yang hebat ini!

“SELAMAT ULANG TAHUN!”

Meski aku kadang mengataimu sebagai bajingan!

Engkau adalah manusia Paling baik dan paling tulus yang pernah ku kenal.

TERIMAKASIH TELAH HIDUP!

TERIMAKASIH TELAH BERSUSAH-PAYAH MEMBUATKU TAK KESEPIAN!

GEMA SATU NADA (Refleksi Bulan Februari 2011)

Failing to fetch me at first keep encouraged

Missing me one place search another

I stop some waiting for you…

(Walt Whitman, Song of Myself)

Pekan biasa ke delapan menutup Februari. Pekan biasa, hari-hari biasa; dan segalanya berlangsung seperti biasa. Nasi goreng dari dapur biara masih bergelimang kecap, driver terbaik kami masih jago ngebut dan nyelip di tengah kepadatan Bandung, dan saya masih juga mudah terkapar sakit kala terpapar suhu udara yang dingin. Segalanya berlangsung seperti biasa.

Segala hal yang datang dan pergi kemudian kerap luput dari perhatian. Dijalani begitu saja dan kehilangan keistimewaan. Kebiasaan membuat orang kehilangan kekaguman, juga penghargaan.

Untuk sekian lama saya kerap menyisihkan waktu untuk sendirian. Mojok di depan deretan makam biara, atau di pondok kecil di dekat saluran air seusai doa malam. Saat itu menjadi kala yang paling mewah. Saya bisa menikmati malam, cahaya bulan, kelip lampu di kejauhan, wangi Sansiviera, suara jengkerik dan burung malam. Segala sesuatu seolah tampil untuk menghadirkan suasana yang melegakan.

Lalu ketika segalanya telah menjadi biasa dan menjadi bagian kebiasaan, saya jadi merasa enggan melakukannya. Kegiatan malam kemudian diakhiri dengan doa bersama yang bernuansa kantuk, lelah dan diselubungi pertanyaan, “Mengapa mazmur-mazmur ini rasanya panjang sekali?” Maka seusai doa saya pun bergegas kabur ke bawah selimut, beranjak tidur karena merasa lelah sekali dan makin jarang bermimpi.

Ketika berada di luar biara hidup terasa seru karena berjalan dengan dinamis. Segalanya selalu bergerak dan berubah. Saya berjumpa orang-orang baru di tempat kerja, bersua kegiatan dan kebijakan baru di Gereja dan membuat kegilaan-kegilaan baru dengan adik dan sahabat saya di mana pun kami sempat berjumpa. Karena segala gerakan dan perubahan ini, saya menjadi sulit menganggap suatu hal sebagai sebuah kebiasaan. Tak ada yang monotone, hidup saya dipenuhi hal-hal yang luar biasa. Entah luar biasa menyenangkan atau luar biasa menjengkelkan.

Tanpa sadar saya hanya bergerak di permukaan. Dangkal tanpa perenungan mendalam. Segala gerakan ini membuat saya dengan mudah meninggalkan mereka untuk kemudian berjumpa dengan masalah lain. Hidup, persahabatan, pekerjaan, kesenangan segalanya mengalir begitu saja tanpa pernah saya pandang intinya. Saya hanya menjumpa pohon memandang kulit dan dedaunannya serta menikmati buahnya tanpa pernah berusaha mengenal Galih-nya.

Sebagai Novis, saya menjalani kehidupan dengan cara sebaliknya. Hidup lalu dialami dalam siklus yang berulang-ulang. Orang yang saya temui tetap orang yang itu-itu saja. Disiplin yang dilanggar tetap tak berubah juga. Bahkan “perjalanan ke luar rumah” selalu menempuh rute yang sama. Stabilitas ini, membuat saya selalu berusaha menggali lebih dalam. Memandang hidup bukan di tataran luaran. Ia memaksa saya menemukan Galih, inti dari setiap kejadian dan pertemuan. Dan pemaksaan saudara, sekali pun baik, kadang menimbulkan kemuakan.

Sesungguhnya saya sedang tidak merasa bosan sehingga menulis permenungan ini. Saya sedang merasa terkejut atas hilangnya daya pesona segala yang saya jumpai dan kaburnya rasa antusias atas segala yang saya buat. Jadwal harian ini, siklus yang berpusar membuat saya bagaikan air yang mengalir di selokan. Aman, nyaman dan tenang. Tanpa perlawanan. Dan sekali pun jatuh dan terbanting-banting toh tetap berada di jalur yang digariskan.

Tanpa terasa segala sesuatu yang membiasa ini menjadikan daya refleksi saya menjadi tumpul. Perilaku sehari-hari juga berubah. Alih-alih menjadi reflektif, saya justru berubah menjadi reaktif. Segala pusaran hidup ini membuat saya menjadi bagai sesosok ranjau darat. Mudah meledak kala tersenggol.

Maka saya merasa heran sendiri karena hal yang paling menggairahkan di antara segala rutinitas ini adalah justru yang paling monoton dan terjadwal. Saya selalu merasa lega kala waktu untuk medoakan ibadat harian tiba. Saya telah membiasakan diri mendoakan ibadat harian sejak tahun 1998. Entah sebagai seorang calon imam diosesan, sebagai seorang awam atau sebagai seorang calon biarawan, ibadat harian (ofisi) ini berusaha saya pertahankan. Inilah hal paling teratur di tengah kesemerawutan hidup masa lalu.

Buku Brevir yang saya gunakan hari ini pertama kali saya terima pada bulan Juli 1998. Banyak coretan di dalamnya. Puisi setengah jadi (yang tak pernah selesai hingga hari ini), catatan hari-hari penting saya dan sahabat, bahkan nomor telepon mantan pacar. Kini ofisi terasa makin mewah karena saya melakukannya bersama para saudara se-biara. Saya bisa memandang wajah mereka serta berpadu suara dan kehidupan bersama orang-orang ini. Doa ini, yang memang begitu rutin, justru menjadi saat untuk berhenti sejenak dari segala rutinitas.

Pengalaman ini membuat saya merasa yakin bahwa ada kebiasaan baik yang bisa saya rangkul tanpa kemuakan sebagai efek samping. Saya ingin menceburkan diri dan menaruh perhatian pada hal-hal yang biasa-biasa ini. Segala hal yang istimewa memang mempesona, namun biasanya ia malah mulai merasuk dan memperkaya hidup di saat telah menjadi biasa saja. Segala pesona yang melahirkan kekaguman dan penghargaan barulah cangkang, yang terlihat dari luar. Bagian dalamnya, Galih-nya, yang biasa-biasa saja adalah kenyataan sesungguhnya.

Saya masih belajar untuk menyukai dan mencintai yang biasa-biasa ini. Diri dan seluruh indra masih merindu hal-hal yang berubah-ubah dan mempesona. Namun, paling tidak saya sadar bahwa segala hal itu sifatnya maya, menjerumuskan dalam penderitaan kala ia berubah dan meninggalkan saya. Kini saya harus belajar menghargai yang biasa. Karena itulah realitas hidup harian saya. Ia tetap mengalir dan berubah, tetapi karena telah membiasa, saya pun terbiasa melepaskannya. Membiarkannya pergi, setelah singgah sejenak dan membuat saya tersenyum bahagia.

Maafkan aku tak bisa kuceritakan

diriku: dengarlah, cangkang telur atau

kulit limau hanyalah samaranku.

sebab kata sesungguh kata tak bisa

mengena jika kau masih juga separuh

membaca separuh-buta.

(Hendrawan Nadesul, 2008)

Jumat, 21 Oktober 2011

Ad Romani

Saudara-saudara,

Aku tahu, tiada sesuatu yang baik dalam diriku sebagai manusia.

Sebab kehendak memang ada dalam diriku,

Tetapi berbuat baik tidak ada.

Sebab bukan yang baik seperti yang kukehendaki, yang kuperbuat,

Melainkan yang jahat, yang tidak kukehendaki.

Jadi jika aku berbuat yang tidak kukehendaki,

Maka bukan aku lagi yang memperbuatnya,

Melainkan dosa yang diam di dalam diriku.

Jadi dalam diriku kudapati hukum berikut:

Jika aku mengkehendaki berbuat apa yang baik,

Malah yang jahatlah yang ada padaku.

Sebab dalam batinku aku memang suka akan hukum Allah,

Tetapi dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain

Yang berjuang melawan hukum akal budiku

Dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa

Yang ada dalam anggota-anggota tubuhku.

Aku ini manusia celaka

Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?

MALAM (Refleksi Bulan Oktober 2011)


(Refleksi Bulan Oktober 2011)

Ada saat tertentu kami boleh ke luar Biara dan menghadiri undangan di tempat lain. Masa-masa seperti itu membuat saya bisa menikmati malam dengan cara yang berbeda. Dari balik jendela minibus Mitsubishi Colt T120s, kendaraan dinas kami, saya melihat betapa malam telah menjadi begitu berbeda. Ia berubah sebagaimana dunia telah menjadi berbeda dan berubah.

Seluruh penjuru kota telah menjadi kerajaan cahaya. Jejaring kawat dan kabel listrik serta energy bermega-watt memungkinkannya. Beribu billboard iklan, deru kendaraan dan dentuman musik menggempur indera dan memaksa masuk. Menyusuri jalanan Bandung lalu bagaikan terjebak di lorong sebuah pusat perbelanjaan. Menggoda, memukau sekaligus memangkas orientasi akan waktu dan ruang. Segala tempat telah gemebyar. Tiba-tiba saya merindukan cahaya bulan dan bintang. Listrik telah membuat lampu Tuhan kehilangan muka.

Dua tahun yang lalu malam tidaklah seperti ini. Pada masa itu, malam masih saya kenal dan akrabi beserta kenikmatan dan kegawatannya. Saya lalu merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Malam hari yang saya kenal di Sulawesi selalu menawarkan misteri, sementara di sini hanya sensasi.

Gebyar cahaya kota membuat saya menemu suatu hal yang timpang, juga hilang. Tanah Sulawesi dengan segala keterbatasannya tak mungkin membuat kotanya sebling-bling Parijs van Java. Kampung halaman saya lalu menjelma sebagai kampung dalam arti yang sebenarnya. Kurang cemerlang dalam daya tarik, kalah dalam pergulatan ekonomi dan eksistensi menurut kacamata zaman ini.

Namun, cahaya yang sama membuat saya jatuh kasihan pada Bandung dan seluruh penghuninya. Tak ada lagi yang membuat malam-malamnya menjadikan orang menemu hening. Menjadikan orang mengenal bahwa dirinya mempunyai batas. Bahwa ada sisi gelap di luar sana yang tak diketahui dan dipahaminya. Ada yang kemudian membuatnya kagum sekaligus gentar, ada kasih dan ngeri, ada amor dan horror (menurut bahasa Goenawan Mohamad). Cahaya dan kebisingan membuat orang mengabaikan bahwa ada yang Ilahi di balik pelukan malam. Kota ini lalu jadi sedingin cahaya neon, tunduk pada sensasi yang dangkal dan bersifat luaran.

Banyak hal terlahir dari kesenyapan. Salah satunya adalah iman. Musa menemu Tuhan di gunung Sinai dan Muhammad di gua Hira. Tak seorang pun di samping Buddha kala ia bersemadi di Bodh Gaya. Bahkan hidup Yesus pun diawali di sepinya kandang domba dan diakhiri dalam kesendirian di kayu salib. Masa itu i-pod dan ponsel Samsung Galaxy Ace belum merebut hening dengan musiknya.

Bagaimana dengan saya?

Hidup di biara membuat orang menemu faedah berganda. Di satu pihak, saya tertahan dan aman dari segala “kelakuan yang aneh-aneh.” Di lain pihak, saya memiliki banyak waktu luang yang membuat saya bisa “berpikir yang aneh-aneh.” Hidup lalu menjadi sekaligus hening dan gempita. Terlihat hening di luar, tetapi gemuruh di dalam. Bagai kampung di tengah kota.

Salah satu scenario pelarian teraneh yang pernah muncul adalah menjadi seorang rahib Trappist. Latar belakangnya barangkali karena saya merasa biara saya, dunia kecil saya ini, tak kalah hiruk-pikuknya dibanding dengan pasar Cicadas. Semua bunyi yang saya dengar sehari-hari hanyalah bising yang menilap semua suara halus. Saya menghindari Televisi yang kedengarannya seperti hendak meledak dan radio yang suaranya bisa lebih keras dari yang dipancarkan studionya. Bahkan teman-teman telah menjadi begitu nyaring. Mereka saling menjerit hingga yang mereka katakan semakin keras, semakin pendek-pendek, dan semakin tidak berarti.

Hal ini membuat saya sadar, betapa kini saya telah menjadi salah satu warga Bandung yang kosmopolit. Hidup saya sudah riuh dengan dentuman musik bermacam gaya, bertabur lampu beraneka warna, dan penuh tempelan billboard iklan beragam nuansa. Tak heran jika saya merindu malam yang senyap di kampung halaman sana.

Kesadaran ini saya anggap berkat. Sekarang saya hidup dalam sebuah mandala Ilahi. Tempat bercahaya yang justru jadi sempurna karena ketidaksempurnaannya. Segala keriuhan dalam habitat saya ini toh melahirkan habitus-habitus baru yang baik. Sekarang saya terbiasa bangun dini hari, antara pukul 3 atau pukul 4 pagi hingga bisa menikmati saat-saat hening bersama Sang Ilahi. Saya sedang belajar mencintai-Nya, maka pertemuan macam ini adalah prioritas utama saya.

Saya sedang mempelajari cara untuk menghadirkan malam senyap penuh misteri di tengah hari-hari sibuk yang riuh itu. Syukurlah juga ternyata Sang Ilahi ini mengirimkan seorang sahabat yang mengajarkan saya menjadi lebih santai, sabar dan berpasrah. Ia membuat saya tidak menuntut senyap, justru melepaskannya hingga segala bunyi malah bisa menjadi sunyi. Teman saya ini membantu saya membiarkan segalanya ada begitu saja, tanpa meributkan alasannya mengapa cahaya dan keriuhan harus ada dengan cara seperti itu. Dia membuat saya bisa berjumpa amor dan horror dalam setiap langkah yang saya buat. Menjadikan semua yang berada dalam lingkup mandala ini menjadi tampakan wajah Ilahi sehingga menjadi honourable, layak dihormati.

Ia membuat segala rasa sakit, kecewa, tak puas dan penyangkalan sebagai bagian sebuah misteri kehidupan. Suatu kenyataan yang memang harus dilalui oleh semua yang hidup. Segala dukkha ini lalu tidak menjadi barang murahan. Bukan sekedar teka-teki yang cukup dihibur dengan pengandaian.

Banyak hal baik dilahirkan dan bukan dijadikan. Ia dicapai dengan usaha, keringat, air mata dan bahkan pengorbanan nyawa agar bisa lahir dan tumbuh berkembang. Semoga saya masih diperbolehkan menemui malam. Entah yang gelap dan senyap atau yang gemebyar dan riuh. Semoga saya masih bisa menyadari begitu banyak misteri yang belum saya temui. Semoga saya masih bisa mendengar suara kawan-kawan saya dan menimba bimbingan mereka.

“Ada di dunia ini yang merupakan teka-teki, ada yang merupakan misteri. Dan beda keduanya adalah ini: teka-teki adalah rahasia yang jawabannya tetap dan pasti. Tetapi misteri adalah rahasia yang jawabannya tak pernah kita kita tahu adakah ia tetap dan pasti. Sesuatu samar-samar menampakkan diri, tapi kita takkan pernah memegangnya. Misteri menjelmakan suasana kepedihan dan harapan. Dan suasana itu, anehnya, indah.”

(Ayu Utami, Bilangan FU, hal. 413)