Kamis, 08 September 2011

SENJA

Sejauh yang saya alami,

Senja tak pernah datang tergesa.

Ia hadir begitu saja, tanpa tanda dan berita.

Namun memberi pernyataan tegas:

Inilah senja, karena malam hampir tiba.

Senja menjadi mistis karena sifat either not-nya.

Ia adalah kesementaraan, keberantaraan.

Dirinya bukanlah siang, dan sekaligus belum menjadi malam.

Senja adalah penampakan sebuah proses pelepasan dan kerelaan.

Ia hadir begitu gegas, tetapi indah karena ikhlas.

Tradisi Kristiani menempatkan senja dalam tempat yang terhormat.

Ia menjadi satu dari dua waktu doa terkudus

Yang menjadi tiang sebuah hari.

Vesper hanya dapat dipadankan dengan Laudes di pagi hari.

Senja menjadi saat manusia memasrahkan diri pada Tuhan

Kala ia beranjak ke pelukan misteri dan kegawatan malam.

Ia lalu berisi pujian dan pengharapan

Di saat manusia merasakan kegamangan

Di tengah dunia yang mengecewakan.

Senja adalah kala terindah

Justru karena identitasnya yang tidak pernah jelas.

Oleh karena itu, ia tak pernah datang tergesa.

BATU KARANG

Namanya adalah Petrus!

Dan siapapun yang memberinya nama seperti itu

Pasti sungguh mengharap ia bakal seteguh karang.

Para pengikut Kristus pasti mengenal kisah ini:

Pada malam menjelang kematian Yesus

Si Petrus menggenggam pedang serta mengatakan sebuah janji,

“Meskipun semua orang lari meninggalkanmu,

aku akan tetap tinggal untuk membela. Bahkan aku siap mati jika perlu.”

Namun kisah tak hanya berhenti pada sikap kepahlawanan.

Beberapa jam setelah itu,

Si Petrus menyangkal gurunya lalu pergi berurai air mata.

Banyak orang mengatakan bahwa Petrus tidaklah seteguh namanya.

Saya menyatakan bahwa saya sungguh tak setuju.

Kisah-kisah Injil mencacat bahwa Petrus adalah murid nomor Satu

Namun dialah yang sekaligus paling tidak memahami Yesus.

Maka Ia tidak menjadi murid kesayangan.

Alih-alih Petrus, Yesus justru memilih sosok lain sebagai bayangan: Yohanes.

Bukan hanya sekali Petrus ini kena bentak.

Ia bahkan pernah diusir dan dikatai “Iblis” karena kedegilan hatinya.

Tapi apakah sungguh ia degil?

Petrus mengikuti gurunya dengan keikhlasan dan ketulusan.

Ia tampil apa adanya hingga kerap disalahpahami.

Seruannya kala mengatakan bahwa penderitaan harusnya jauh dari Yesus

Bukanlah tanda ketidakmengertiannya pada visi hidup sang guru.

Ia mengatakan itu, karena cinta yang begitu dalam pada sosok itu.

Lalu,

Dengan apakah kita bisa membandingkan Petrus?

Ia bukan lagi sekedar batu karang yang teguh.

Namun dia sendirilah keteguhan itu.

Pada suatu kelak, ketika tiba tempat dan waktu yang tepat,

Petrus membuktikan bahwa dirinyalah sang murid utama.

Dia mati, sebagaimana gurunya mati.

Orang ini memberi gambaran kesejatian seorang murid.

Ia tak ragu menjadi sosok yang tulus dan rendah hati,

Tak malu kerap dianggap degil, bodoh dan naïf.

Bagi dia, tak perlu seorang murid melebihi gurunya.

Dirinya membuat saya begitu ingin,

Diberi nama: Petrus!