Rabu, 28 Januari 2009

CintA OranG PinggiraN






















Semalam saya menonton sebuah film yang aneh
sekaligus mengagumkan.

Film itu sudah dalam bentuk cakram digital,
disewakan oleh sebuah tempat penyewaan video
yang lumayan ternama.
Berjajar di antara film dengan kategori "Teen"
dengan sampul berwarna terang.
Saya tertarik untuk menyewanya karena satu alasan
ada nama -Sinjai Plengpanich- Seorang aktris Thailand,
yang ikut bermain di dalamnya.
Judul film itu adalah,
The Love of Siam.

Saya menyukai Mbak Sinjai itu karena menurut saya
aktingnya bagus dan .... hemmh, dia seksi...
untuk ukuran perempuan seumurnya.
Penampilannya dalam film itu luar biasa.
Dia berperan sebagai seorang ibu dengan dua anak.
Anak sulungnya seorang perempuan 
yang kemudian hilang dalam perjalanan liburan, 
hingga membuat keluarga ini "begitu terluka" 
untuk masa yang begitu lama;
anak bungsunya seorang pemuda tampan
yang kisahnya membuat saya tekaget-kaget.
Film ini membawakan kisah yang tidak biasa.

Anak bungsu si ibu tadi ternyata jatuh cinta 
pada teman sepermainannya semasa kecil.
Kisah standar?
Bukan! KArena temannya tadi juga seorang lelaki.

Konflik muncul, saat Mbak Sinjai memergoki anaknya
tengah berduaan di kebun belakang bersama "kekasihnya"
dan mencium lelaki itu.
Jangan berpikir soal ciuman buas ala "Brokeback Mountain,"
yang disusul dengan adegan "ML."
Saya malah ikut terhanyut dan terharu,
kebersamaan dua anak lelaki itu begitu natural.
Romantis dan tulus,
mengalahkan ciuman Cinta dan Rangga di AADC.

Mbak Sinjai yang shock akhirnya mendatangi
pacar anaknya.
Ia meminta anak muda itu 
agar mempertimbangan kebahagiaan anaknya,
jika memang sungguh cinta.
Si ibu ingin anaknya bisa tamat sekolah,
bekerja, berumahtangga, memiliki anak dan
berbahagia sampai mati karena tua; 
sama seperti miliaran manusia lelaki lain di bumi.
Karena hal itu tak mungkin terjadi
jika anaknya berhubungan dengan lelaki
ia meminta agar mereka tak lagi bertemu,
tak lagi berhubungan.

Dan begitulah....
Di akhir film anak lelaki Mbak Sinjai 
bertemu kekasihnya, dan mengatakan
bahwa ia tidak mungkin bisa menjadi kekasihnya,
namun itu tidak berarti ia tidak mencintai si mas itu!

Adegan itu membuat saya mual,
bukan karena jijik, namun karena 
rasa terharu yang luar biasa.

Berapa banyak orang yang harus mengubur dirinya,
cinta dan orientasi seksualnya
karena lingkungan dan orang tua.

Saya dan mungkin juga anda,
kerap menyingkirkan  anak-anak muda ini.
Orang yang kita anggap berbeda.
Bagi kita hal itu tidak mungkin,
padahal bagi mereka cinta di antara lelaki
(atau juga mungkin di antara sesama perempuan),
adalah hal yang sejelas dan seterang matahari.
Kita kerap memaksa mereka
untuk menjadi seperti  yang kita inginkan.

Selesai menontonnya saya tidak bisa tidur.
membayangkan jika saya berada di posisi mereka.
Apa yang saya buat?
Apa yang saya pikirkan?
Apa yang saya ...........

Jumat, 23 Januari 2009

CintA.... Eros, Agape, EgepE






















Ada yang mau menjawab pertanyaan, "Apakah itu cinta?"
Jika Mbak Dewi Lestari-Dee, mau menjawabnya
lengkap dengan peragaan mengupas bawang,
Maka saya lebih memilih melarikan diri,
atau jika sudah terpojok dan tak punya tempat kabur
saya memilih untuk diam,
bagai anak domba yang dibawa ke tempat pembantaian,
bagai Induk domba yang membisu di depan orang
yang mencukur bulu (ketek) nya!

Sungguh, pertanyaan macam itu membuat saya
bisa langsung mual karena panik.

Nah, pertanyaannya adalah mengapa?
Apakah saya tak pernah jatuh cinta?.....
Hem, selalu! Setiap hari malah!
Apakah saya kapok jatuh cinta? ......
Lho, kok kapok? Bukannya jatuh cinta enak?
Apakah saya punya pengalaman buruk dalam cinta? .......
Oh, Cencu saja? Emang siapa yang enggak pernah?
Apakah saya tahu, apa itu cinta? .......... Hemm..... hem....
Tuuuuuuuuuuuuuuuuut (Disconnect!)

Selama menempuh perjalanan dengan si-Cinta
(maksudnya tentu saja bukan sama Dian Sastro dalam AADC, lho ya?),
saya cenderung merasa bingung,
kurang nyaman dan merasa rada munafik.
Bukan karena sering kali terpaksa berseru,
"pecahkan saja gelasnya biar ramai!"
namun karena saat mulai mencintai orang
saya merasa pada saat itu juga
saya mengkhianatinya!

KOk bisa?
Waktu baru jatuh cinta,
si-Dia biasanya tampil luar biasa di mata saya,
lengkap dengan efek taburan cahaya, dan tiupan angin di rambutnya.
Sayang saat hubungan cinta mulai berjalan,
saya merasa bahwa efek-efek tadi mulai kurang berdaya.
Saya butuh sesuatu yang lebih......

Yang lebih itu adalah, yaaah....
Semacam dan sejenis
yang berupa sexual touching atau apalah......
Dan pada akhirnya jadi sex intercourse.....!

Dulu....
Saya diajari bahwa salah satu jenis cinta yang hanya berdasar nafsu saja
dinamai dengan Eros, salah satu dewa Yunani anak BuDhe Aphrodite.
Cinta Eros dikonsepkan (betapa benci saya dengan konsep)
sebagai cinta dengan porsi nafsu seksual yang lebih banyak
dari porsi nasi Warung Tegal.

Saya juga diberitahu
bahwa ada cinta yang diberi nama lumayan keren,
cinta Platonik.
Cinta yang seaneh Bung Plato
karena tak melibatkan unsur seksual.
Relasi yang afektif memang muncul,
dan kemudian digarisbawahi dengan kata,
"Cinta akan ide tentang kebaikan
adalah dasar segala kebajikan dan kebenaran."
Betapa saya terheran-heran karenanya!

Saya sering dikotbahi
bahwa cinta paling agung adalah cinta yang tampak
pada cinta Tuhan pada ciptaanNya.
Sebuah cinta tanpa batas,
yang sudah melupakan ide
menyingkirkan nafsu,
atau sebaiknya disebut...
Mengatasi dua hal tadi.
Sebuah cinta yang ditampilkan oleh Mas Hosea
yang mau menikahi seorang PSK,
Mbak Gomer Binti Diblayim.

Sekarang.....
Saya mojok sendirian.
Setelah ditanyai oleh si-KOmang,
Setelah diinterogasi oleh Eun-Cha,
Setelah ditohok oleh Mas AriaSeta....
yang bertanya, seperti apa cintamu padaku?

Saya hanya diam,
karena untuk kabur rasanya akan sangat wagu....

Lalu si-Cinta bertanya,
"Menurut engkau, siapakah aku ini?"
Dalam Putus asa saya berbisik,
"Mau apakah engkau dari padaku? Saat ku belum tiba!"
Kemudian membalikkan badan dan berkata,
"Auk ah, Gelap! Emang Gue Pikirin!"

Saat itu saya memejamkan mata,
karena telah merah padam wajah saya,
karena malu,
Di hadapan si-Cinta.

Kamis, 22 Januari 2009

Pergi.....

“Kekasihku, di jalan ada perjumpaan dan sua kembali. 
Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri. 
Kubawa ragaku menempuh kemegahaan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. 
Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu.”

Saya sering tersedak jika ingin mengucap pamit.
Entah mengapa, mengucapkan kata selamat tinggal sesederhana, "Bye!" sekalipun menjadi bukan perkara mudah.

Nah, saya kagum pada orang yang bisa menulis ucapan selamat tinggal sebagus itu,
dan terlebih lagi akan terpana jika orang yang sama bisa mengucapkannya "live" di hadapan mereka yang akan ditinggal.

Kata-kata di atas adalah kutipan bagian akhir dari buku pertama Serat Centhini yang disadur oleh Elizabeth Inandiak, seorang perempuan Perancis yang mengagumi sastra Jawa.
Mengingat ini adalah penggalan karya sastra Jawa, khayalan saya melayang pada suatu masa ketika nenek moyang saya juga mungkin mengucap pamit, dengan kata-kata yang sama.

Ucapan selamat tinggal selalu menjadi beban bagi saya.
Bukan karena saya enggan berpisah,
tidak juga karena saya takut meninggalkan mereka di belakang,
namun karena ucapan itu adalah gerbang langsung menuju ketidakkekalan.

Ucapan pamit adalah pertanda awal bahwa tak ada satu pun yang kekal.
dan sampai hari ini dengan jujur saya katakan,
saya bahkan belum paham apa makna kekekalan dan ketidakkekalan.

Saya hanya terjebak dalam konsep mengenai mereka.

Itu barangkali sebabnya, 
saya masih enggan mengucap pamit.

Senin, 19 Januari 2009

DoA, yang MengKalutkan....

Saat berkunjung ke rumah seorang kawan saya pernah dimintai izin oleh si tuan rumah. Permintaannya sederhana saja, "Sorry, man! Gue mundur dulu ya? Mo sembahyang nih!"
Tentu saja permintaan itu membuat saya cengar-cengir. 
Hal yang pertama muncul di benak adalah pertanyaan, 
"Hemmmh, yang tuan rumah tuh sebenarnya siapa, ya? 
Kok malah dia yang minta izin pada saya?"
Hal kedua yang menyeruak adalah pertanyaan, 
"Wooi, eloe ikut berdoa juga, enggak?"
Terhadap pertanyaan kedua saya hanya menjawab lirih, "Enggak."
Kali ini ucapan itu hanya diakhir dengan tanda baca titik. 
Bukan "tanda seru" seperti biasanya.

Saya hidup di tengah-tengah doa dan orang-orang yang berdoa.
Sementara saya sendiri tidak berdoa. 
Bukan karena ingin tampil beda, 
namun hanya karena sudah tidak biasa saja.
Sudah tidak biasa berdoa, ajaib sekali bukan?

Sejak kecil saya sudah diajarkan untuk berdoa.
Menjelang dewasa saya adalah salah satu orang 
yang kerap dimintai tolong oleh orang lain 
untuk mendoakan mereka.
Sekarang, saat usia tiga puluh mulai menjelang, 
saya malah jarang berdoa.

Ketika masih kecil, doa-doa diajarkan 
dan kami diminta untuk menghafalkan.
Jadilah doa menduduki tempat yang setara 
dengan daftar perkalian
 dan daftar kata kerja bentuk lampau dalam bahasa Inggris.
Karena kemampuan mengingat saya cukup lumayan,
jadilah saya bank doa di mata kawan-kawan. 
Pada saat saya mulai remaja, 
terbukti betapa kemampuan mengingat doa itu sungguh berguna 
dan seandainya bisa diuangkan, 
punya prospek bisnis yang menggiurkan.

"Kalo 'doa sebelum ujian' tuh gimana, ya?"
"Mas, tolong 'doa untuk pacar'-nya diprintkan!"
"Sayaaaang, aku tadi mau mengaku dosa... trus lupa 'doa tobat,' ajarin dong. 
Ntar aku masuk ruang pengakuan lagi!"

Pada usia dua puluh tiga dan sekian-sekian, 
doa saya mulai berubah.
Saya memahami bahwa doa adalah 
"komunikasi dengan Tuhan."
Bagian itu saya beri tanda kutip karena saya sadar, 
bahwa yang saya ajak berkomunikasi sungguh belum saya kenal 
dan pahami namun, (katanya) ADA!
Karena doa adalah sebuah komunikasi, 
maka saya mulai menyingkirkan jauh-jauh segala jenis doa hafalan 
dan malahan mulai cenderung membencinya.

Doa saya sekarang mengalir dari hati dan perasaan, 
menjadi ungkapan tertulus untuk berusaha menjangkau-Nya.
Karena judulnyapun "usaha" 
maka doa saya pun kadang-kadang terasa unik, lucu dan memaksa. 
Saya bisa berdoa dengan kata-kata indah dan lancar 
hanya untuk memohon agar hujan berhenti. 
Dengan penuh iman (yang masih saya pertanyakan maksudnya),
saya akan memohon dengan rendah hati (semoga sungguh demikian),
agar permohonan itu diperhatikan.
Lalu dengan penuh kepasrahan 
(dan agar menimbulkan efek dramatis),
saya akan mengakhiri doa itu dengan ucapan,
"Namun bukan kehendakku...melainkan terjadilah kehendak-Mu!"

Terkesan aneh? Namun dengan formula ajaib macam itu, 
saya kerap dimintai tolong oleh banyak orang 
agar mendoakan mereka.
Khususnya pada saat-saat tertentu, 
saat doa yang hadir dari ucapan sendiri 
sudah terasa tidak manjur dan meyakinkan lagi.

Pada titik ini, saya lalu merasa bahwa berdoa 
menjadi bagaikan merangkai puisi.
Menanti kata-kata yang datang dari entah 
dan merangkainya menjadi suatu kalimat 
yang punya maksud dan tujuannya sendiri.
Maka tahun-tahun setelahnya pertanyaan ini 
selalu menampakkan dirinya, 
"Bisakah kau berdoa tanpa maksud tertentu?"

Saya terlahir sebagai seorang Katolik. 
Doa adalah irama hidup.
Minggu pagi ke Gereja, berdoa.
Senin dan Kamis bertemu dalam perkumpulan orang muda, berdoa.
Selasa dan Rabu berkumpul dalam latihan paduan suara, berdoa. 
Jum'at perkumpulan doa lingkungan, jelas-jelas berdoa.
Hari sabtu pertemuan pendalaman iman, pasti juga berdoa.
Lingkaran harian itu saya garis bawahi 
karena pada saat itu saya dipastikan sedang berdoa, 
atau malah sedang memimpin doa.
Itu semua masih di luar doa-doa pribadi yang paling standar,
doa sewaktu bangun tidur... 
Sebelum dan sesudah makan.... 
menjelang berangkat tidur.

Tradisi Gereja Katolik sendiri membagi hari dalam lingkaran tujuh kali waktu doa.
Dua kali lebih banyak dari saudara-saudari yang Muslim.
Sayang, kebiasaan tersebut kini hanya dijalankan 
oleh para biarawan dan biarawati serta para Pastor dan Diakon.
Entah mengapa, Para petinggi Gereja dari masa dahulu hingga sekarang 
terkesan membuat tradisi lingkaran doa harian
jauh dari kami, kaum awam.

Bagaimana dengan diri saya, 
yang sekarang ini (katanya) sudah jarang berdoa?
Entah mengapa, saat saya mulai merasa dewasa 
dan masuk dunia kerja doa menjadi terasa asing bagi saya.
Kedewasaan seolah menjadi semacam pembebasan.
Sekarang saya tak perlu lagi menghafal agar mendapat pengakuan.
Tidak butuh lagi merangkai puisi hanya untuk memperoleh penguatan,
bahwa saya tidak sendirian.

Kedewasaan membuat saya melihat Tuhan dengan sudut pandang lain.
Ayolah! Ia bukan guru matematika 
yang akan memukul betismu dengan rotan
atau guru Bahasa Inggris yang akan pasang wajah kecewa 
kala engkau melupakan kata "take" dalam bentuk kedua.
Maka, ia juga tak butuh puisi indah bergaya liris 
atau Sajak perkasa dengan dentuman suara keras
demi meyakinkan maksud hati saya untuk menjangkau dia.
Karena saya ingin bisa sekedar berkomunikasi, 
tanpa maksud yang aneh-aneh,
maka dua cara berdoa di atas saya "delete".

Sekarang, saya kebingungan sendiri.
Saya terbiasa dengan Tuhan 
yang dijelaskan secara sistematis menurut tradisi Teologi Gereja.
Doa lalu ikut menjadi sistematis pula, 
karena ditujukan pada si-Dia yang dipahami 
secara (dengan penuh pemaksaan) sistematis.
Saya ingin mengenal si-dia secara lebih akrab, 
dengan pengenalan yang murni dari pencarian.
Bukan lewat kuliah para dosen, 
bukan lewat sebuah kitab berusia dua ribu tahun 
(yang sering dituduh sebagai palsu dan tidak otentik),
dan lebih-lebih bukan menurut kata-kata 
yang entah hafalan .... entah karangan pribadi 
justru membuat si-dia tampak begitu miskin di hadirat saya.

Rupanya,
Saya masih belum mengenalnya 
dan karena itu bingung .... 
hingga mulai jarang berdoa.
Tempat untukmu dan untukku
Duduk bersama, dan barangkali menanti kelanjutannya...

Posting pertama saya lahir dari sebuah kecelakaan.
Kecelakaan, karena dia mencelat, lahir dan hadir di halaman web karena kebodohan saya. Tangan yang gemetar karena terlambat makan siang membuat langkah mouse justru menyerempet kotak merah "TERBITKAN ENTRI" dari pada dengan tegas menyenggol kotak biru, "SIMPAN SEBAGAI KONSEP."

Dan demikianlah. Dengan pandangan tak rela saya tatap tulisan pertama saya. Betapa anehnya menatap sebuah karya yang pergi begitu saja tanpa pamit. Tanpa dibekali dengan kata pengantar, catatan kaki, dan daftar isi;  melangkah pergi dengan percaya diri. Dia bukan puisi. Hanya rentetan kalimat sederhana yang terdiri dari sepuluh kata plus sebuah koma dan tiga buah titik yang bebaris malu-malu.
Sungguh saya tak rela.

Saya kemudian menatapnya. Lengkap dengan pandangan sayu, tarikan nafas yang seret (plus ingus yang mengambang di ujung liang hidung), dan helaan nafas. Dan ia cuek begitu saja. Seolah tak peduli dan sama sekali tak balas menatap. Tidak ada permohonan maaf, ucapan selamat tinggal atau ungkapan terimakasih.

Tiba-tiba saya disergap kesepian. Apakah seperti ini perasaan si-Tuhan (jika dia sebuah sosok personal), saat ia mencipta saya? Kalau iya? Rasanya saya ingin berbisik padanya, "Kasihan deh Eloe!" Tapi kali ini tanpa niat meledek, namun dengan ungkapan tulus. 
Sebaris kalimat tak usai itu kok rasanya seperti diri saya. Begitu Pede, melangkah ke tengah hidup. Kabur begitu saja dan maaf, sama sekali bukan karena lupa, tidak menghiraukan pencipta saya (sekali lagi jika ia adalah se-orang sosok yang personal).

Sekarang saya duduk di depan layar komputer. Mengetik kata-kata baru yang tak ada hubungannya dengan dia. Mengomentarinya, meratapinya dan Hemmmh mengaguminya. Kagum, bahwa ternyata sebaris kalimat yang "wagu" itu ternyata kini terlihat begitu indah. Sederhana, dan mengandung posibilitas yang tak terduga. 

Sebaris kalimat itu malah terasa lebih bermakna, lebih imaginatif dan menyapa dari pada berondongan kalimat-kalimat dan paragraf baru yang saya buat untukknya sekarang.

Dan Tuhan, 
Seperti itu juga kah perasaan-mu terhadap aku sekarang?

Sebuah Lagu dari Negeri yang jauh

A NINE DAYS’ WONDER

 

A Nine days wonder

Looking back as the sun goes down

As times goes by, a sketch of life

On the wall worn out.

One day he says

In a usual tone

That I don’t shine anymore

So I laughed and said, can you bring it back

He stands alone watching the leaves fall

 

So many places, so many ways

There’s no way home, nowhere I belong

So many faces fade away

And then life’s goes on

So many places, so many ways

There’s no way home, nowhere I belong

 

Off the rails dream away

The amber lights flicker out

An old soldier lives in the dark

Says light only causes pain

 

Now I don’t listen to him this time

I packed my bag and I walked to the bus stop

Stars start falling down like a yellow rain, like fireworks

I stand alone watching the stars fall

 

So many places, so many ways

There’s no way home, nowhere I belong

So many faces fade away

And then life’s goes on

So many places, so many ways

There’s no way home, nowhere I belong

So many faces fade away

And then life’s goes on

 

Still living in the worlds now

Hold on there

And then life’s goes on

Still living in the world we now

Hold on there

And then life’s goes on


Lagu ini ditulis dan dinyanyikan oleh Yoshio Akeboshi, seorang penyanyi asal Jepang. Entah mengapa kesederhanaan kata-katanya memukau saya. Ia bernyanyi seperti orang bertutur. Lugas dan jelas. Tanpa banyak bunga, namun menunjukkan kepiawaian memilih kata.

Akeboshi lebih dikenal di Indonesia sebagai penyanyi yang lagunya kerap dijadikan ending song Film Anime NARUTO. Lagu, "Wind" dijadikan lagu penutup seri anime ini selama beberapa episode awal, sementara "Yellow Moon" menemani kita saat menyaksikan season 4 anime tersebut. 

Saya kerap mengagumi serial Anime Jepang. Sebuah tontonan yang di negeri kita kerap diidentikkan sebagai "konsumsi anak-anak" ternyata masih bisa disisipi dengan lagu-lagu yang bermakna mendalam, dan dalam bahasa bego saya .....dewasa! Kekaguman ini membuat saya terdorong untuk mengagumi kemampuan para musisi Jepang dalam mengolah lirik lagu. 

Jika kita mencermati lagu-lagu populer yang beredar di pasaran negeri ini, komentar yang spontan muncul adalah...."Kok simpel banget, ya?....dangkal dan hmmmm, rada dungu!" Kebanyakan (untuk tidak mengatakan semuanya) hanya berkisah mengenai cinta dan masalah diseputarnya. Jatuh cinta, patah hati, selingkuh dan tema-tema standar lain, dengan bahasa dan makna yang seadanya. Asal bunyi doang. 

Saya tidak menuntut bahwa sebuah lagu cinta haruslah puitis. Kata-kata bolehlah sederhana, namun alangkah indahnya jika ia punya makna yang membuat orang "jadi mikir," dan pada akhirnya berucap.... wow!

Rasanya tak adil jika saya hanya "ngomel doang."  kekaguman ini, kerisauan  ini, boleh jadi sebuah permintaan dan tantangan buat saya, "Man, kapan elo bikin lirik seperti yang lo maksud?" 

Barangkali saya juga sedang diadili oleh diri saya.

Tempat untukmu dan untukku
Duduk bersama, dan barangkali menanti kelanjutannya...